Gempar Kejaksaan Agung dan Dewan Pers Di Bobol Hacker jangan kaget isi lamanya

Dalam semalam, dua situs resmi diretas. Setelah Kejaksaan Agung, giliran laman resmi milik Dewan Pers diretas. Hingga Rabu (31/5) pukul 06.00 WIB, situs tersebut masih diretas. Laman resmi Dewan Pers kembali normal sekitar pukul 07.00 WIB.

Gempar Kejaksaan Agung dan Dewan Pers Di Bobol Hacker jangan kaget isi lamanya
Gempar Kejaksaan Agung dan Dewan Pers Di Bobol Hacker jangan kaget isi lamanya 

Saat laman Dewan Pers diretas, muncul tulisan berisi keprihatinan karena terkoyaknya ideologi negara, Pancasila oleh orang-orang yang berlindung dengan tameng agama. Tulisan berwarna merah dengan latar belakang hitam.


Berikut tulisan tersebut:

Ketika garuda kembali terluka karena provokasi makhluk durjana..

Ketika semboyan "Bhineka Tunggal Ika" kembali terabaikan karena aksi oknum yang mengatasnamakan agama...

Gempar Kejaksaan Agung dan Dewan Pers Di Bobol Hacker jangan kaget isi lamanya
Gempar Kejaksaan Agung dan Dewan Pers Di Bobol Hacker jangan kaget isi lamanya 

Ketika ayat-ayat suci jadi bahan perdebatan oleh orang-orang yang merasa memiliki surga..

Ketika perjuangan pahlawan kemerdekaan sudah dilupakan begitu saja oleh merdeka yang merasa paling berjasa..

Tolong hentikan semua perpecahan ini tuan..

Negaraku, bukan negara satu agama atau milik kelompok perusak adat budaya, juga bukan milik satu golongan..

#Damailahindonesiaku #JayalahBangsaku #Kitaindonesia





Situs Kejaksaan Agung Republik Indonesia diretas. Ada gambar Harley Quinn yang muncul sambil memegang pentungan.

Jika masuk ke laman www.kejaksaan.go.id, yang muncul bukan informasi seputar lembaga penegak hukum tersebut. Malah wanita kekasih penjahat badut Joker yang jadi tokoh di Film Suicide Squad ini yang tampil.

Ada juga kata-kata bernada protes soal kondisi Bangsa ini yang tengah terkotak-kotak.

"We were all Indonesians, untill race disconnected us. Religion separated us. Politics divided us."

Di bawahnya ada sejumlah nama 'hacker' yang diduga meretas situs kejaksaan tersebut.

Gempar Kejaksaan Agung dan Dewan Pers Di Bobol Hacker jangan kaget isi lamanya
Gempar Kejaksaan Agung dan Dewan Pers Di Bobol Hacker jangan kaget isi lamanya 


Saat ini Kejaksaan Agung tengah jadi sorotan berita untuk kasus Ahok setelah pihak keluarga mencabut banding mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Pro dan kontra soal itu masih ramai di masyarakat.


Pantauan merdeka.com, hingga pukul 04.00 WIB, Rabu (31/5), situs kejaksaan agung masih belum bisa dibuka. [ian]

sumber:merdeka.com

Kisah Nyata! Puasa Saat Hamil, Ibu ini Melahirkan Kurang dari 5 Menit. MasyaAllah!

Memang kita perlu mengetahui bahwa kondisi ibu hamil ini berbeda-beda. Ada yang mampu melaksanakan puasa dan ada yang tidak.

Kisah Nyata! Puasa Saat Hamil, Ibu ini Melahirkan Kurang dari 5 Menit. MasyaAllah!
Kisah Nyata! Puasa Saat Hamil, Ibu ini Melahirkan Kurang dari 5 Menit. MasyaAllah!

Namun sebaiknya dicoba dahulu untuk berpuasa ketika hamil dan menyusui, jangan langsung tidak berpuasa tanpa mencoba terlebih dahulu atau hanya sekedar kekhawatiran saja, padahal sejatinya ia mampu.

Jika kekhawatiran itu ada indikasinya, misalnya mual-muntah hebat selama hamil maka tidak perlu memaksakan mencoba berpuasa, ia termasuk yang mendapat udzur, yaitu orang yang sakit (moring scikness). Terlebih lagi ada anjuran dari dokter yang terpercaya agar dia sebaiknya tidak berpuasa.

Jika mencoba berpuasa dalam keadaan hamil dan menyusui:

Jadwal makan tetap diatur tiga kali yaitu berbuka, pertengahan malam dan sahur
Atau sering makan tetapi sedikit-sedikit
Perbanyak minum dan minuman bergizi
Tetap beraktifitas seperti biasa dan jangan hanya tidur-tiduran saja

Sebuah kisah nyata yang dituturkan oleh dr. Raehanul Bahraen melalui muslimafiyah.com. Ia membuat perbandingan saat istrinya puasa dalam kondisi hal dan tidak pada kehamilan anak pertama dan kedua.

"Hamil pertama: Istri saya saat hamil 7-8 bulan berpuasa Ramadhan pada kehamilan itu hanya berbuka dua hari atau beberapa hari.

Hamil kedua: Istri saya hamil 8-9 bulan ketika Ramadhan, alhamdulillah ketika melahirkan masih dalam keadaan berpuasa jam 11 siang karena tidak sempat berbuka dan sangat lancarnya proses melahirkan yang cepat (hanya kurang dari 5 menit langsung melahirkan, alhamdulillah).

Alhamdulillah semuanya sehat, Jadi apabila tidak ada indikasi atau nasehat dari dokter untuk tidak berpuasa maka berpuasa lebih baik. Wallahu a’lam."

Nah, bagaimana sih hukum puasanya ibu hamil dan menyusui ini?
Bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir dengan bayinya, apakah harus mengqadha setelah melahirkan dan setelah menyusui? atau membayar fidyah saja? Ulama berselisih pendapat dalam hal ini, dan ada beberapa pendapat:

Mengqadha puasa saja setelah melahirkan atau setelah menyusui
Hanya membayar fidyah saja
Mengqadha dan juga sekaligus membayar fidyah

Dari beberapa pendapat tersebut Anda silahkan memilih mana yang lebih kuat pendapatnya dan lebih menenangkan hati.

Adapun kami lebih memilih pendapat berikut:

Jika Ibu hamil dan menyusui mampu berpuasa, maka sebaiknya berpuasa
Jika tidak mampu berpuasa, setelahnya bisa menqadha (setelah melahirkan atau menyusui)
Jika tidak mampu menqadha, maka membayar fidyah saja


Contoh kasusnya:

Ketika sedang hamil, kemudian tidak bisa berpuasa hampir sebulan karena mual-muntah hebat (morning sickness) dia boleh tidak berpuasa dan mencoba menqadha setelah melahirkan (ketika menyusui)
Ketika menyusui juga tidak bisa berpuasa, karena merasa lemas sehingga tidak bisa mengurus bayi atau air susu jadi sedikit, boleh tidak berpuasa dan mencoba menqadha setelah menyusui
Jika masih juga tidak bisa mengqadha setelah menyusui ternyata hamil lagi dan ketika hamil dia juga tidak mampu berpuasa lagi, maka cukup bayar fidyah



Bisa kita bayangkan seorang ibu dengan kasus di atas, tahun pertama selama Ramadhan mungkin punya hutang puasa sebulan penuh, kemudian selama dua tahun menyusui jika tidak mampu, punya hutang qadha dua tahun juga (total tiga tahun dan 3 bulan Ramadhan harus dibayar dengan qadha).


Ternyata setelah selesai menyusui ia hamil lagi (bahkan ada yang belum selesai dua tahun menyusui sudah hamil lagi), maka kapan dia qadha puasanya yang sudah menumpuk? Karenanya ada pendapat ulama yang membolehkan fidyah saja berdasarkan dalilnya.

Semoga saat ini Anda yang sedang hamil dan menyusui dimudahkan untuk menjalai puasa Ramadhan dan menunaikan ibadah kepada Allah. Amiin.

http://www.wajibbaca.com

Astagfirullah, Tradisi Tukar Uang Saat Lebaran Bisa Jadi Dosanya Lebih Besar Daripada Maksiat

Telah menjadi tradisi menukar uang dibulan Ramadhan, pecahan 100ribu dengan 10ribu atau 5ribu, dan kebanyakan dengan imbalan. Maka ini menurut syariat bisa disebut riba’. Dan Allah mengingatkan kepada orang yang beriman, agar setiap kali terjadi benturan antara aturan syariat dengan tradisi, mereka harus mengedepankan aturan syariat.

Astagfirullah, Tradisi Tukar Uang Saat Lebaran Bisa Jadi Dosanya Lebih Besar Daripada Maksiat
Astagfirullah, Tradisi Tukar Uang Saat Lebaran Bisa Jadi Dosanya Lebih Besar Daripada Maksiat

Alah berfirman,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65).

Dalam ilmu hukum, kita diajarkan, jika hukum yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka hukum yang lebih tinggi harus dikedepankan.

Hukum syariat datang dari Allah, sementara hukum tradisi buatan manusia. Secara usia, di tempat kita, hukum syariat lebih tua, dia ditetapkan 14 abad silam. Sementara tradisi, umumnya datang jauh setelah itu.

Secara hierarki, hukum syariat jauh lebih tinggi. Karena Allah yang menetapkan.
Karena itulah, tradisi yang melanggar syariat, tidak boleh dipertahankan. Sekalipun itu tradisi pribumi.


Tukar-menukar Uang
Dikutip dari konsultasisyariah, bahwa dalam kajian ekonomi islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah).  Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam.

Baca Juga : Baginda Rasulullah SAW Lakukan 6 Hal Ini Sebelum Tidur.

Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147).

Dalam riwayat lain, Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)


Juga disebutkan dalam riwayat dari Ma’mar bi Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ». قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ.

“Jika makanan dibarter dengan makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan,
“Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” (HR. Muslim 4164).

Berdasarkan hadis di atas,
Dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:

1. Kelompok Pertama
Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelomok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.

2. Kelompok  Kedua
Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.

Aturan Baku yang Berlaku
Dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan
Pertama
Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis,
Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst.  dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus

مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ

takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai).
Dan jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Kedua
Jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”
Terdapat kaidah,

إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط

Apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai.
Ketiga
Jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok. Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling ridha.

Baca Juga : Hukum Mengeraskan Dzikir Setelah Shalat, Disertai Hadist dan Penjelasanya!
Tukar Menukar Uang Receh
Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba. Rp 100rb ditukar dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.
Karena rupiah yang ditukar dengan rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya 2: sama nilai dan tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”

Riba tetap Riba, sekalipun Saling Ridha
Bagaimana jika itu dilakukan saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.

Dalam transaksi haram, sekalipun pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena melanggar aturan syariat.
Orang yang melakukan transaksi riba, sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya dosa besar.
Transaksi jual beli khamr atau narkoba, hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha.

Bagaimana dengan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29)

Jawab:
Ayat ini kita yakini benar. aturannya juga benar. Namun saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang haram. Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara trasaksi haram, seperti riba, tidak berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak mengubah hukum.

Bila disebut Sebagai Upah Penukaran Uang
Ada yang beralasan, kelebihan itu sebagai upah karena dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus ngantri, harus bawa modal, dst. jadi layak dapat upah.

Baca Juga : Kisah Nyata, Siksa Kubur Bagi Orang yang Pelit

Jelas ini alasan yang tidak benar. Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk nukar uang di bank, tapi yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran uang. Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.

Misalnya, Pak Bos meminta Paijo menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 rb. Kita bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2 juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 rb. Karena upah berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu.
Sementara kasus tukar menukar ini niainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi riba, dan bukan upah.

Sayangi Pahala Puasa Anda
Riba termasuk salah satu dosa besar. Bahkan salah satu dosa yang diancam dengan perang oleh Allah.

Allah berfiman,

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Jika kalian tidak meninggalkan riba, maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya (al-Baqarah: 279)
Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini,

يُقَالُ يَومَ القِيَامَةِ لِآكلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلحَرْبِ

Besok di hari kiamat para pemakan riba akan dipanggil, “Ambil senjatamu, untuk perang!” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/716)
Dalam hadis, dosa riba disetarakan seperti berzina dengan ibunya
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبعُونَ بَابًا أَيسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّه

Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).

Karena itulah, para salaf menyebut dosa riba lebih parah dari pada zina,
Ada pernyataan Ka’ab al-Ahbar,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

Satu dirham riba yang dimakan seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)

Sementara dosa dan maksiat adalah sumber terbesar kegagalan puasa manusia. Dosa merupakan sebab pahala yang kita miliki berguguran. Ketika ramadhan kita penuh dengan dosa, puasa kita menjadi sangat tidak bermutu. Bahkan sampai Allah tidak butuh dengan ibadah puasa yang kita kerjakan.

Baca Juga : Benarkah Bila Suami MARAH, AMAL Istri Tidak Diterima?

Semacam inilah yang pernah diingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan yang lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903)
Ketika ada orang yang berzina di malam ramadhan, apa yang bisa dibayangkan dengan nasib puasanya?
Bisa jadi hilang semua pahalanya.


Apa yang bisa anda bayangkan, ketika orang melakukan transaksi riba, yang dosanya lebih berat dari pada zina, dilakukan terang-terangan di siang bolong ramadhan? Astagfirullah.

Sumber :http://www.wajibbaca.com

Gempar Jika Banding Ditolak, Hukuman Ahok Diperberat, Ini yang Terjadi

Pengacara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Josefina Agatha Syukur, sulit memperkirakan hasil banding yang diajukan jaksa penuntut umum ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas kasus penistaan agama.

Gempar Jika Banding Ditolak, Hukuman Ahok Diperberat, Ini yang Terjadi
Gempar Jika Banding Ditolak, Hukuman Ahok Diperberat, Ini yang Terjadi

"Susah sekali jawab ini. Palu di tangan hakim. Dan kami lawyer tidak berani berandai-andai. Tapi kalau ditanya kemungkinan-kemungkinan, kemungkinan itu bisa saja terjadi," ujar Josefina kepada Suara.com, Senin (29/5/2017).

Tapi menurut kebiasaan, jika pengadilan mengabulkan permohonan banding, bisa sajak hukuman yang telah dijatuhkan pengadilan negeri berkurang atau kembali ke tuntutan jaksa. Dalam kasus Ahok, Ahok dijatuhi hukuman dua tahun penjara, sementara tuntutan jaksa hanya satu tahun penjara.

"Kalau banding jaksa dikabulkan maka bisa saja berarti kembali ke tuntutan jaksa. Tapi masih banyak kemungkinan lainnya," kata Josefina​.

Namun, apabila upaya banding jaksa ditolak pengadilan dan hakim malah memberatkan hukuman kepada Ahok, tim kuasa hukum tentu tidak akan tinggal diam. Mereka akan menempuh jalur hukum.

"Itu sudah risiko (kalau hukuman diperberat). Tapi secara hukum kami kan masih bisa upaya hukum kasasi," kata dia.


Pada Selasa (9/5/2017) lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis Ahok dengan hukuman pidana dua tahun penjara. Ahok dikenakan Pasal 156a KUHP dan dinyatakan bersalah dalam kasus penodaan agama.

Ahok semula mengajukan banding. Tetapi kemudian dia mencabut memori banding pada Senin (22/5/2017). 

Artinya, Ahok menerima vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto.

Ahok mencabut memori banding, tapi jaksa tetap melanjutkan banding.

Suara.com

Kisah Serda Woli kalahkan alat canggih dengan sebatang rumput,Kok bisa ?ini penjelasnya

Serda Woli Hamsan salah satu anggota Kontingen TNI Angkatan Darat menjadi petembak terbaik dalam perlombaan Australian Army Skill at Arms Meeting (AASAM) 2017 di Puckapunyal, Australia. 

Banyak tantangan yang dihadapi di sana. Namun Serda Woli membuktikan prajurit TNI tak mudah dikalahkan walau dengan alat canggih sekali pun.

Kisah Serda Woli kalahkan alat canggih dengan sebatang rumput,Kok bisa ?ini penjelasnya
Kisah Serda Woli kalahkan alat canggih dengan sebatang rumput,Kok bisa ?ini penjelasnya 

Masalah pertama adalah soal cuaca. Iklim di Australia berbeda dengan Indonesia. Di sana suhu bisa mencapai 4 sampai 10 derajat celcius, sehingga cukup dingin.

"Mungkin yang agak sulit cuaca karena kalau di Indonesia itu kan kita biasa cuaca cukup panas 27-29 derajat celcius. Sehingga itu harus punya kiat-kiat khusus untuk mengatasi cuaca di sana," kata Serda Woli di Mabes TNI AD, Selasa (30/5).

Pengalaman yang menarik dan paling diingat dari Serda Woli adalah soal arah angin. Pada saat angin kencang, prajurit dari negara lain membawa alat yang canggih untuk mengukur arah angin dan kecepatannya. Sedangkan Indonesia hanya cukup mengambil rumput dari bawah yang dilempar ke atas. Dari sana para prajurit TNI sudah punya perkiraan akurat soal arah angin dan kecepatannya.

Hasilnya justru kontingen Indonesia mendapat nilai terbaik saat angin kencang bertiup. Ternyata modal sebatang rumput bisa mengalahkan wind meter. Hal ini cukup membuat tentara lain bengong.

"Katanya kok begitu saja dengan cara seperti itu bisa cepat menembaknya kita yang menggunakan yang canggih kurang bagus menembaknya begitu," kata Serda Woli.


Dia mengakui lawan terberat datang dari tuan rumah Australia. "Ya mungkin mereka sudah menguasai medan ya," kata Serda Woli.

Atas prestasinya, Serda Woli mendapatkan sebuah rumah dari Kepala Staf TNI AD Jenderal Mulyono. Tak cuma itu, Kasad juga membebaskan Serda Woli untuk memilih lokasi rumahnya sendiri. Dia mengaku bersyukur atas hadiah itu.


Saat ini Serda Woli bertugas di Kostrad Depok. Dia mengaku ingin pensiun nanti di Depok juga. 

"Mungkin di Depok, mungkin ya," kata Serda Woli Hamsan. [ian]

Heboh Kuasa Hukum Rizieq Shihab Sebut Jokowi Otak di Balik Kasus yang Menjerat Kliennya

Kasus ini diyakini merupakan langkah pemerintah mengkriminalisasi ulama.


Heoh Kuasa Hukum Rizieq Shihab Sebut Jokowi Otak di Balik Kasus yang Menjerat Kliennya
Heoh Kuasa Hukum Rizieq Shihab Sebut Jokowi Otak di Balik Kasus yang Menjerat Kliennya


Eggi mengatakan bahwa kasus ini mencuat karena pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat kalah dalam Pilkada DKI Jakarta serta penetapan tersangka Ahok.

"Ini problemnya adalah politik balas dendam dari dua hal penting kekalahan Ahok di Pilkada dan dipenjara kasus penodaan agama. Ini substansinya. Di belakang semua ini kami menilai adalah Presiden Jokowi," jelas Eggi.

Dugaan keterlibatan Jokowi, menurut Eggi, dalam pengusutan kasus ini terlihat ketika membiarkan polisi melanjutkan pengusutan kasus ini. Padahal baginya, Rizieq sama sekali tidak terlibat dalam kasus ini.

Kriminalisasi menurut Eggi, juga dilakukan pada kasus Sekjen FUI, Muhammad Al Khaththath, jubir FPI Munarman, dan Ketua GNPF-MUI, Bahtiar Nasir.
Untuk itu, dirinya meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk turun tangan dalam kasus ini.

Tim kuasa hukum Rizieq meminta Presiden diminta menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

"Kita minta Jokowi dengan hormat memerintahkan kepada Kapolri untuk menghentikan atau mengeluarkan SP3, atau kriminalisasi kepada ulama dan aktivis segera diakhiri," jelas Eggi.

Sebelum Rizieq Shihab jadi tersangka, Firza Husein lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Mei lalu.

Akibat kasus ini, Firza Husein dan Rizieq Shihab dapat disangka melanggar Pasal 4 ayat 1 juncto pasal 29 dan/atau pasal 6 juncto pasal 32 dan/atau pasal 8 juncto pasal 34 Undang Undang RI nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi dengan ancaman penjara di atas 5 tahun.

Sumber:http://www.tribunnews.com/nasional/2017/05/30/kuasa-hukum-rizieq-shihab-sebut-jokowi-
otak-di-balik-kasus-yang-menjerat-kliennya

Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....

Masih ingat dengan sosok gadis cantik ini? Dulu foto wajahnya kerap menghiasi mesin pencarian Google.

Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....
Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....


Jika kita mengetik kata kunci 'wanita cantik' di Google, maka foto perempuan satu ini yang bakal muncul di halaman pertama.

Setelah lama tenggelam, belakangan nama perempuan satu ini kembali mencuat di dunia maya. Lantas siapa sebenarnya dia? Dan bagaimana penampilannya kini?

Diketahui gadis cantik ini bernama Tirani Dwitasari. Ia berasal dari Bandung. Nama Tirani mungkin tak lagi sepopuler dulu, tapi siapa sangka fansnya kini semakin banyak.

Sudah Berhijab

Tak heran sih, pasalnya kini penampilan Tirani semakin cantik. Ia bahkan sekarang sudah resmi mengenakan hijab. Terlihat dari akun Instagram @tiranids.

Meski berwajah cantik dan punya banyak penggemar, sayangnya Tira tak begitu intens menggunakan sosial media layaknya selebgram.

Nah, penasaran dengan penampilan Tira sekarang? Yuk lihat langsung foto-fotonya di halaman berikutnya.

Berikut ini foto-foto Tirani.

1. Terlihat semakin cantik




Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....
Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....





2. Penampilannya juga semakin fashionable

Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....
Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....


3. Kini sudah berhijab


Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....
Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....


4. Bersama sang ibunda

Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....
Cewek Ini Dulu Terkenal di Google, Astaga Penampilannya Kini Sungguh mengejutkan.....



(Sumber: palingseru.com)

Driver Gojek Berhelm Retak Ini Diburu Klub Motor, Kenapa???

Sebuah komunitas sepeda motor Yamaha RX King rela menyusuri Jakarta demi menemukan seorang pengemudi ojek online. Mengapa?

Driver Gojek Berhelm Retak Ini Diburu Klub Motor, Kenapa???
Driver Gojek Berhelm Retak Ini Diburu Klub Motor, Kenapa???

Berawal dari foto unggahan akun facebook Firman Fadillah, yang memperlihatkan seorang pria tua pengemudi ojek online. Driver ojek online itu mengendarai motor Yamaha RX King.

Kondisinya cukup memprihatinkan. Memakai helm retak yang sudah tidak layak pakai.

Dalam unggahanya itu, akun Firman Fadillah menuliskan caption untuk mencari keberadaan bapak itu.

" Jika sudah ketemu alamat rumah nya bapak driver ojek online ini segera hubungi kami... INSA ALLAH teman teman disini ingin membenahi motor bapak ini agar aman dan nyaman ketika di pakai beliau untuk mencari rezeki... #Mariberbagi," tulis akun Firman Fadillah pada 19 Mei 2017.

Siapa sangka, postinganya itu membuat sosok sang pria tua menjadi `buruan` anggota klub RX King.

Mereka menawarkan bantuan berupa uang maupun onderdil serta aksesori yang diperuntukkan untuk bapak itu secara cuma-cuma.

 Alhamdullilah, mereka berhasil menemukan dan berkunjung ke rumah bapak pengemudi gojek yang diketahui bernama Hermanto di wilayah Taman Ratu, Jakarta Barat, Sabtu 20 Mei 2017 malam lalu.

Benar saja kondisi motor yang dikendarai bapak Hermanto harus segera diperbaiki, karena sudah sangat rusak. 

Akun Firman Fadillah pun meng-update kondisi pencarian dari pengemudi Gojek tersebut dengan status :

Assalamualikum wr.wb
Alhamdulillah semalam kami sudah berkunjung ke kediaman bapak Hermanto sang driver GOJEK KING
Yg beralamat di Taman Ratu (Jakarta Barat)

Setelah kami melihat langsung kondisi MOTOR RX KING Pak Hermanto memang harus di perbaiki.

(Motor yg di pergunakan Bpk Hermanto Rx king thn 1997 warna Ungu ) Maka dari itu kami dr team BEDAH KING bersepakat untuk mengembalikan fungsi dari motor tersebut agar layak di pakai untuk mencari rezeki bapak Hermanto.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua kingers indonesia yg telah membantu pelaksanaan BEDAH KING ini.

Mohon doa dan suport nya agar niat baik kita semua di ridhoi ALLAH SWT dan berjalan dengan lancar
Wassalam,

#BEDAHKING
#MARIBERBAGI
#SALAMRXKINGINDONESIA
#SALAM135CC
#RXSERIESINDONESIA

(Ism, Facebook.com/Firman Fadillah)

Sumber :DREAM

Detik Detik Menjelang Soeharto Lengser

“Presiden Soeharto: Reformasi Politik Tahun 2003 Ke Atas”, tulis halaman utama Kompas edisi 2 Mei 1998.

Detik Detik Menjelang Soeharto Lengser
Detik Detik Menjelang Soeharto Lengser 

Di tengah mencuat isu penculikan para aktivis tepat pada 32 tahun kekuasaannya, Soeharto melalui pembantunya, Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan, masih tetap menunjukkan kuasanya sebagai kepala negara.

Seperti dimuat di halaman utama Republika edisi 2 Mei 1998, Soeharto lewat Hartono mengeluarkan pernyataan bernada ancaman kepada mahasiswa yang menuntut segera dilakukan reformasi. “Jika Tidak Mau Mengerti, Dihadapi Dengan Tindakan,” tulis kepala berita koran itu.

Sementara itu desakan reformasi lewat aksi-aksi protes meluas di seluruh daerah. Aksi itu digelar tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional. Dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Palembang, Medan, hingga Kupang. Di Jakarta, aksi menuntut reformasi berujung bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan dua mahasiswa tertembak peluru karet.

Soeharto memanggil dua menterinya untuk meluruskan pernyataan. Seraya tetap menginginkan jabatannya tuntas hingga 2003, Soeharto meminta Hartono dan Alwi Dahlan meluruskan pernyataan. “Ini tolong disiarkan lengkap. Jangan sampai seolah-olah Bapak Presiden menutup reformasi. Tetapi untuk tahun 1998-2003, rakyat sudah mengadakan perangkatnya,” kata Hartono dalam Republika, 3 Mei 1998.

Perangkat dimaksud Hartono adalah Garis Besar Haluan Negara hasil Sidang Umum MPR 1998. “Jadi apa pun produk yang dilakukan atau dihasilkan pada periode 1998-2003, tidak digunakan pada periode ini,” kata Hartono. “Jadi masukan bagi legislatif tadi untuk kepentingan tahun 2003.”

Namun, gerakan meminta percepatan reformasi terus menguat. Demonstran meminta Soeharto lengser. Slogan mereka: Soeharto bersama para kroni bersenang-senang di atas penderitaan rakyat; Soeharto memimpin negara di atas pemerintahan yang korup.

Di tengah krisis keuangan yang menghajar Asia Tenggara dan merembet ke Indonesia, pemerintahan Soeharto memilih menaikkan harga bahan bakar minyak, 4 Mei 1998. Pengumuman itu memicu situasi kaos di sekitar Jakarta. Pom bensin diserbu pembeli hingga terjadi antrean mengular. Ibukota lumpuh seketika.

Keresahan itu, misalnya, tergambar pada kepala berita Kompas edisi 5 Mei 1998 berjudul “Diumumkan di Siang Bolong, Panik, Macet, Penumpang Terlantar”. Laporan itu menggambarkan warga berbondong-bondong mengantre BBM demi mendapatkan harga minyak lama, baik di Jakarta, Bogor, Tangerang, hingga Bekasi.

“Siang yang berawan kehitam-hitaman—seperti menjadi tanda hujan akan turun—terasa menjadi sangat panas,” tulis Kompas.

“Ini adalah sebuah perjuangan di masa sulit sekarang ini,” kata warga yang ikut antrean BBM pada judul berita halaman utama “Harga BBM dan Tarif Listrik Naik, DPR Menolak”.

Berita kenaikan BBM dan tarif listrik itu terus bergulir pada esoknya, 6 Mei 1998. Republika, misalnya, melaporkan kondisi penjarahan di Medan pada 5 Mei 1998. Laporan utama berlatar foto aksi demonstrasi mahasiswa di depan Kampus Universitas Nasional yang menolak kenaikan harga BMM, tarif listrik, dan angkutan kota.

Ribuan warga, seperti dilaporkan Republika, turun ke jalan, membakar, merusak, dan menjarah toko-toko tempat penyimpanan barang-barang kebutuhan pokok. Sehari sebelumnya, kerusuhan di Medan meletus. Warga merusak dan menjarah Pusat Perdagangan Aksara, di Jalan Letda Sudjono. Sepuluh kendaraan dan 25 bangunan terbakar.

Di hari yang sama, seperti dilaporkan Republika, para sopir angkutan umum di Jakarta bergabung dengan mahasiswa menggeruduk Gedung DPR menolak kenaikan BBM.

Di Yogyakarta, demonstrasi mahasiswa memanas: massa menyandera anggota DPRD dari Fraksi ABRI. Di Ujungpandang tak kalah bergejolak: aksi berujung bentrokan dengan aparat keamanan; terjadi pembakaran bus antar kota milik Damri; mahasiswa melucuti pakaian dua pegawai dinas Pemda setempat.

Aksi-aksi itu lantas membuat Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI, mengeluarkan pernyataan yang menganjurkan “mahasiswa dan warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis” karena memperburuk keadaan, selain “memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.”

“Saya melihat bagaimana perilaku masyarakat yang sementara ini lupa diri dengan melakukan kegiatan yang bersifat merusak, membakar toko, merampok toko, gudang, dan menjarah isinya. Ini mengingatkan kita bahwa sudah ada kegiatan yang tidak peduli kepada hukum,” ujar Wiranto di Kompas edisi 8 Mei 1998.

Wiranto menuding tindakan-tindakan yang ia nilai “anarkis” itu (istilah keliru yang terus dipakai hingga kini untuk menyebut tindakan ricuh) karena “mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan.”

“Jadi betul yang saya katakan, bahwa mahasiswa keluar kampus tentu akan dimanfaatkan pihak lain untuk mencari keuntungan yang berbeda dengan visi mahasiswa,” kata Wiranto, memakai teori pihak ketiga.

Wiranto kemudian memerintahkan seluruh jajaran ABRI—sekarang TNI—untuk “menghentikan aksi anarkis dengan melakukan tindakan tegas dan sesuai hukum.”

Tak hanya Wiranto. Soeharto melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan merespons keadaan kaos di pelbagai daerah bersulut penjarahan dan perusakan. Ia menyoroti aksi warga di Medan yang menyebabkan kekosongan bahan pangan dari pasar.

“Orang terburu-buru membeli berbagai macam bahan pangan, akibatnya harga-harga menjadi naik,” kata Alwi mengutip ucapan Soeharto usai Sidang Kabinet Terbatas, sebagaimana tertulis di Republika edisi 7 Mei 1998.
Gelombang Demonstrasi

Sehari setelah Wiranto memberikan keterangan pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jumat, 8 Mei 1998, aksi demonstrasi terus meluas di pelbagai daerah.

Harian Media Indonesia edisi 9 Mei melaporkan, demonstrasi mahasiswa makin keras. Di Padang, ribuan mahasiswa IAIN Imam Bonjol dan Universitas Andalas turun ke jalan. Mereka bergerak menuju kantor Walikota dan nyaris memicu kerusuhan. Sementara di Jakarta, ribuan mahasiswa menggelar demonstrasi dan mimbar bebas.

Mahasiswa di Pekanbaru melakukan aksi serupa. Aksi itu berujung bentrokan dengan aparat keamanan dan dua mahasiswa dikabarkan hilang. Sedangkan dari Bandung, rektor dan guru besar lima perguruan tinggi di Indonesia mendukung gerakan mahasiswa turun ke jalan untuk mendesak pemerintah segera melakukan reformasi. Mereka adalah Profesor Emil Salim (UI), Profesor Loekman Soetrisno (UGM), Puruhito (Unair), Oetomo D (IPB) dan beberapa guru besar lain.

Sementara di Surabaya, demonstrasi ratusan mahasiswa, pelajar, hingga perawat RSUD Dokter Soetomo menggeruduk Gedung Tingkat I DPRD Jawa Timur. Demonstrasi yang sama terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur, dengan aksi simbolik membawa mayat.

Di Solo, aksi yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Tercatat 400 orang yang ikut dalam demonstrasi di depan Kampus Universitas Negeri Solo mengalami luka-luka. Aparat menembakkan gas air mata dan memukuli mahasiswa. Bahkan setelah kejadian, Ulin Niam Yusron, koordinator SMPR, menemukan 26 proyektil peluru.

Suasana memanas menjalari Yogyakarta. Ia berujung peristiwa yang dikenal “Tragedi Gejayan”, 8 Mei 1998. Insiden itu menewaskan Moses Gatotkaca, alumnus Institut Sains & Teknologi Akprind. Moses ditemukan tergeletak dengan luka-luka pukulan dan meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. (Kelak namanya diabadikan pada sebuah jalan di dekat lokasi kejadian)

Sedangkan di Bogor, demonstrasi di depan Kampus Universitas Djuanda menyebabkan Kepala Satuan Intel Polres Bogor Letda Dadang tewas, diduga setelah dikeroyok puluhan mahasiswa yang tengah melakukan aksi.

Di hari yang sama, ketika aksi demonstrasi mahasiswa makin kencang, Soeharto akhirnya menghadap DPR.

“Kalau DPR betul-betul menilai kenaikan BBM itu memberatken rakyat, saya gembira, karena DPR memikirken rakyatnya. Saya gembira,” kata Soeharto seperti dikutip Republika, 10 Mei 1998.

Soeharto menjawab pertanyaan mengenai tuntutan demonstran di pelbagai daerah agar segera dilakukan reformasi. Seraya mengingatkan pentingnya kestabilan nasional di tengah krisis moneter, ia mengimbau agar “aksi tak sampai melakukan tindakan anarkis.” Sebab, katanya, aparat penegak hukum dan ABRI akan mengambil tindakan tegas.

“Kalau mereka tidak melanggar hukum, dengan sendirinya tidak ada tindakan,” kata Soeharto menjelang pamit di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menghadiri KTT G-15 ke 8 di Kairo, Mesir. “Saya bukan tidak mengetahui keadaan di dalam negeri. Saya mengetahui keprihatinan rakyat,” tambah Soeharto.

Ia mengomentari pemberitaan media massa di Tanah Air. Media massa, kata Soeharto, malah “ikut memperkeruh suasana” di tengah krisis ekonomi. “Bukannya mencoba menenangkan masyarakat,” katanya. “Sekarang saya minta tanggung jawab saudara-saudara untuk lebih menenangkan keadaan ini.”

Dan, sejak lawatan Soeharto—sang jenderal sepuh yang makin gagap mengendalikan keadaan itu—situasi di pelbagai daerah menyongsong pada apa yang akan dihadapinya sekembali ke Jakarta.
Api di Jakarta

Massa—dari mahasiswa, kaum ibu, orang-orang biasa—menuntut sidang istimewa MPR dipercepat. Mereka menuntut Soeharto turun dari tampuk kekuasaan karena dinilai tak mampu mengatasi krisis ekonomi.

Yel-yel "KKN"—akronim untuk korupsi, kolusi, dan nepotisme—semakin berdengung dan bersemangat: menggambarkan pemerintahan Orde Baru yang doyan ambil duit rakyat, memperbesar jaringan rente dan kroni, serta menguntungkan sanak saudara dan kerabat dekat. (Baca: Bagaimana Soeharto mencuri 35 miliar dolar AS, menjadikannya pemimpin paling tamak di dunia selama 20 tahun terakhir)

Di sisi lain, aksi Mei 1998 dihadapi penembakan oleh aparat keamanan. Senjata api menyalak. Asap membumbung di sekitar area Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Empat mahasiswa Trisakti tewas dalam insiden yang dikenal “Tragedi Trisakti Berdarah”.

Dari peristiwa di Trisakti itu, wilayah Jakarta Barat lantas dilanda kerusuhan disertai penjarahan. Media Indonesia edisi 14 Mei 1998 mencatat, setidaknya 10 mobil dibakar massa, 45 bangunan dirusak, termasuk toko dan diskotek. Situasi kaos membuat lumpuh Jalan Daan Mogot hingga Jalan Panjang. Di jalan, ribuan massa berkumpul. Melakukan razia para pengendara.

Pada 12 Mei 1998 Jakarta bak medan perang.

Pada 13 Mei letusan senjata kembali meletus pada aksi berkabung di Universitas Trisakti. Penyulutnya, sekelompok massa membakar kendaraan tepat di depan kampus. Aksi itu lantas merembet ke beberapa wilayah di Jakarta.

Kompas mencatat, ratusan manusia terpanggang di Toserba Yogya di Klender, Jakarta Timur, dan ratusan orang terpanggang di Cileduk Plaza. Tercatat 499 orang tewas dan 4.000 bangunan hancur.

Dari Kairo, Soeharto memberikan pernyataan. Pukul 18.15 waktu setempat, ia berkata: “Kalau saya tidak lagi diberi kepercayaan, silahken. Saya sudah mengataken kalau tidak dipercaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahanken dengan kekuatan senjata.”

Di tengah pertemuan dengan warga Indonesia di KBRI Mesir, Soeharto kembali menegaskan jika memang ia tak lagi dipercaya oleh rakyat, ia ingin menjadi pandito. “Saya akan mendekatken diri kepada tuhan, membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik,” katanya.

“Saya juga tidak akan jadi penghalang, apalagi sampai mematikan kelangsungan hidup bangsa ini,” tuturnya, seraya mengatakan ia bisa menjadi penasihat untuk negara. “Tut Wuri Handayani.”

Namun, pernyataan itu kemudian dibantah Soeharto dua hari sesudahnya saat kembali ke Jakarta pada 15 Mei 1998. Melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Soeharto menyatakan ia sama sekali tak pernah menyatakan siap mundur dari jabatannya sebagai presiden. Baik Kompas, Republika, dan Media Indonesia menampilkan halaman serupa mengenai bantahan pengunduran diri Soeharto pada edisi 16 Mei 1998.

“Jadi kalau kita baca hati-hati ucapan ini, jadi jelas bagi beliau yang penting adalah kelangsungan hidup negara dan bangsa ini, yang tentunya sangat terkait dengan kelangsungan UUD,” kata Alwi, dengan gaya eufemisme yang lazim dipakai oleh para pejabat pemerintahan Soeharto. “Jadi jelas, beliau tidak mengatakan saya siap mundur seperti yang telah banyak diinterpretasikan oleh banyak pihak.”“Presiden Soeharto: Reformasi Politik Tahun 2003 Ke Atas”, tulis halaman utama Kompas edisi 2 Mei 1998.

Di tengah mencuat isu penculikan para aktivis tepat pada 32 tahun kekuasaannya, Soeharto melalui pembantunya, Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan, masih tetap menunjukkan kuasanya sebagai kepala negara.

Seperti dimuat di halaman utama Republika edisi 2 Mei 1998, Soeharto lewat Hartono mengeluarkan pernyataan bernada ancaman kepada mahasiswa yang menuntut segera dilakukan reformasi. “Jika Tidak Mau Mengerti, Dihadapi Dengan Tindakan,” tulis kepala berita koran itu.

Sementara itu desakan reformasi lewat aksi-aksi protes meluas di seluruh daerah. Aksi itu digelar tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional. Dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Palembang, Medan, hingga Kupang. Di Jakarta, aksi menuntut reformasi berujung bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan dua mahasiswa tertembak peluru karet.

Soeharto memanggil dua menterinya untuk meluruskan pernyataan. Seraya tetap menginginkan jabatannya tuntas hingga 2003, Soeharto meminta Hartono dan Alwi Dahlan meluruskan pernyataan. “Ini tolong disiarkan lengkap. Jangan sampai seolah-olah Bapak Presiden menutup reformasi. Tetapi untuk tahun 1998-2003, rakyat sudah mengadakan perangkatnya,” kata Hartono dalam Republika, 3 Mei 1998.

Perangkat dimaksud Hartono adalah Garis Besar Haluan Negara hasil Sidang Umum MPR 1998. “Jadi apa pun produk yang dilakukan atau dihasilkan pada periode 1998-2003, tidak digunakan pada periode ini,” kata Hartono. “Jadi masukan bagi legislatif tadi untuk kepentingan tahun 2003.”

Namun, gerakan meminta percepatan reformasi terus menguat. Demonstran meminta Soeharto lengser. Slogan mereka: Soeharto bersama para kroni bersenang-senang di atas penderitaan rakyat; Soeharto memimpin negara di atas pemerintahan yang korup.

Di tengah krisis keuangan yang menghajar Asia Tenggara dan merembet ke Indonesia, pemerintahan Soeharto memilih menaikkan harga bahan bakar minyak, 4 Mei 1998. Pengumuman itu memicu situasi kaos di sekitar Jakarta. Pom bensin diserbu pembeli hingga terjadi antrean mengular. Ibukota lumpuh seketika.

Keresahan itu, misalnya, tergambar pada kepala berita Kompas edisi 5 Mei 1998 berjudul “Diumumkan di Siang Bolong, Panik, Macet, Penumpang Terlantar”. Laporan itu menggambarkan warga berbondong-bondong mengantre BBM demi mendapatkan harga minyak lama, baik di Jakarta, Bogor, Tangerang, hingga Bekasi.

“Siang yang berawan kehitam-hitaman—seperti menjadi tanda hujan akan turun—terasa menjadi sangat panas,” tulis Kompas.

“Ini adalah sebuah perjuangan di masa sulit sekarang ini,” kata warga yang ikut antrean BBM pada judul berita halaman utama “Harga BBM dan Tarif Listrik Naik, DPR Menolak”.

Berita kenaikan BBM dan tarif listrik itu terus bergulir pada esoknya, 6 Mei 1998. Republika, misalnya, melaporkan kondisi penjarahan di Medan pada 5 Mei 1998. Laporan utama berlatar foto aksi demonstrasi mahasiswa di depan Kampus Universitas Nasional yang menolak kenaikan harga BMM, tarif listrik, dan angkutan kota.

Ribuan warga, seperti dilaporkan Republika, turun ke jalan, membakar, merusak, dan menjarah toko-toko tempat penyimpanan barang-barang kebutuhan pokok. Sehari sebelumnya, kerusuhan di Medan meletus. Warga merusak dan menjarah Pusat Perdagangan Aksara, di Jalan Letda Sudjono. Sepuluh kendaraan dan 25 bangunan terbakar.

Di hari yang sama, seperti dilaporkan Republika, para sopir angkutan umum di Jakarta bergabung dengan mahasiswa menggeruduk Gedung DPR menolak kenaikan BBM.

Di Yogyakarta, demonstrasi mahasiswa memanas: massa menyandera anggota DPRD dari Fraksi ABRI. Di Ujungpandang tak kalah bergejolak: aksi berujung bentrokan dengan aparat keamanan; terjadi pembakaran bus antar kota milik Damri; mahasiswa melucuti pakaian dua pegawai dinas Pemda setempat.

Aksi-aksi itu lantas membuat Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI, mengeluarkan pernyataan yang menganjurkan “mahasiswa dan warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis” karena memperburuk keadaan, selain “memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.”

“Saya melihat bagaimana perilaku masyarakat yang sementara ini lupa diri dengan melakukan kegiatan yang bersifat merusak, membakar toko, merampok toko, gudang, dan menjarah isinya. Ini mengingatkan kita bahwa sudah ada kegiatan yang tidak peduli kepada hukum,” ujar Wiranto di Kompas edisi 8 Mei 1998.

Wiranto menuding tindakan-tindakan yang ia nilai “anarkis” itu (istilah keliru yang terus dipakai hingga kini untuk menyebut tindakan ricuh) karena “mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan.”

“Jadi betul yang saya katakan, bahwa mahasiswa keluar kampus tentu akan dimanfaatkan pihak lain untuk mencari keuntungan yang berbeda dengan visi mahasiswa,” kata Wiranto, memakai teori pihak ketiga.

Wiranto kemudian memerintahkan seluruh jajaran ABRI—sekarang TNI—untuk “menghentikan aksi anarkis dengan melakukan tindakan tegas dan sesuai hukum.”

Tak hanya Wiranto. Soeharto melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan merespons keadaan kaos di pelbagai daerah bersulut penjarahan dan perusakan. Ia menyoroti aksi warga di Medan yang menyebabkan kekosongan bahan pangan dari pasar.

“Orang terburu-buru membeli berbagai macam bahan pangan, akibatnya harga-harga menjadi naik,” kata Alwi mengutip ucapan Soeharto usai Sidang Kabinet Terbatas, sebagaimana tertulis di Republika edisi 7 Mei 1998.
Gelombang Demonstrasi

Sehari setelah Wiranto memberikan keterangan pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jumat, 8 Mei 1998, aksi demonstrasi terus meluas di pelbagai daerah.

Harian Media Indonesia edisi 9 Mei melaporkan, demonstrasi mahasiswa makin keras. Di Padang, ribuan mahasiswa IAIN Imam Bonjol dan Universitas Andalas turun ke jalan. Mereka bergerak menuju kantor Walikota dan nyaris memicu kerusuhan. Sementara di Jakarta, ribuan mahasiswa menggelar demonstrasi dan mimbar bebas.

Mahasiswa di Pekanbaru melakukan aksi serupa. Aksi itu berujung bentrokan dengan aparat keamanan dan dua mahasiswa dikabarkan hilang. Sedangkan dari Bandung, rektor dan guru besar lima perguruan tinggi di Indonesia mendukung gerakan mahasiswa turun ke jalan untuk mendesak pemerintah segera melakukan reformasi. Mereka adalah Profesor Emil Salim (UI), Profesor Loekman Soetrisno (UGM), Puruhito (Unair), Oetomo D (IPB) dan beberapa guru besar lain.

Sementara di Surabaya, demonstrasi ratusan mahasiswa, pelajar, hingga perawat RSUD Dokter Soetomo menggeruduk Gedung Tingkat I DPRD Jawa Timur. Demonstrasi yang sama terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur, dengan aksi simbolik membawa mayat.

Di Solo, aksi yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Tercatat 400 orang yang ikut dalam demonstrasi di depan Kampus Universitas Negeri Solo mengalami luka-luka. Aparat menembakkan gas air mata dan memukuli mahasiswa. Bahkan setelah kejadian, Ulin Niam Yusron, koordinator SMPR, menemukan 26 proyektil peluru.

Suasana memanas menjalari Yogyakarta. Ia berujung peristiwa yang dikenal “Tragedi Gejayan”, 8 Mei 1998. Insiden itu menewaskan Moses Gatotkaca, alumnus Institut Sains & Teknologi Akprind. Moses ditemukan tergeletak dengan luka-luka pukulan dan meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. (Kelak namanya diabadikan pada sebuah jalan di dekat lokasi kejadian)

Sedangkan di Bogor, demonstrasi di depan Kampus Universitas Djuanda menyebabkan Kepala Satuan Intel Polres Bogor Letda Dadang tewas, diduga setelah dikeroyok puluhan mahasiswa yang tengah melakukan aksi.

Di hari yang sama, ketika aksi demonstrasi mahasiswa makin kencang, Soeharto akhirnya menghadap DPR.

“Kalau DPR betul-betul menilai kenaikan BBM itu memberatken rakyat, saya gembira, karena DPR memikirken rakyatnya. Saya gembira,” kata Soeharto seperti dikutip Republika, 10 Mei 1998.

Soeharto menjawab pertanyaan mengenai tuntutan demonstran di pelbagai daerah agar segera dilakukan reformasi. Seraya mengingatkan pentingnya kestabilan nasional di tengah krisis moneter, ia mengimbau agar “aksi tak sampai melakukan tindakan anarkis.” Sebab, katanya, aparat penegak hukum dan ABRI akan mengambil tindakan tegas.

“Kalau mereka tidak melanggar hukum, dengan sendirinya tidak ada tindakan,” kata Soeharto menjelang pamit di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menghadiri KTT G-15 ke 8 di Kairo, Mesir. “Saya bukan tidak mengetahui keadaan di dalam negeri. Saya mengetahui keprihatinan rakyat,” tambah Soeharto.

Ia mengomentari pemberitaan media massa di Tanah Air. Media massa, kata Soeharto, malah “ikut memperkeruh suasana” di tengah krisis ekonomi. “Bukannya mencoba menenangkan masyarakat,” katanya. “Sekarang saya minta tanggung jawab saudara-saudara untuk lebih menenangkan keadaan ini.”

Dan, sejak lawatan Soeharto—sang jenderal sepuh yang makin gagap mengendalikan keadaan itu—situasi di pelbagai daerah menyongsong pada apa yang akan dihadapinya sekembali ke Jakarta.
Api di Jakarta

Massa—dari mahasiswa, kaum ibu, orang-orang biasa—menuntut sidang istimewa MPR dipercepat. Mereka menuntut Soeharto turun dari tampuk kekuasaan karena dinilai tak mampu mengatasi krisis ekonomi.

Yel-yel "KKN"—akronim untuk korupsi, kolusi, dan nepotisme—semakin berdengung dan bersemangat: menggambarkan pemerintahan Orde Baru yang doyan ambil duit rakyat, memperbesar jaringan rente dan kroni, serta menguntungkan sanak saudara dan kerabat dekat. (Baca: Bagaimana Soeharto mencuri 35 miliar dolar AS, menjadikannya pemimpin paling tamak di dunia selama 20 tahun terakhir)

Di sisi lain, aksi Mei 1998 dihadapi penembakan oleh aparat keamanan. Senjata api menyalak. Asap membumbung di sekitar area Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Empat mahasiswa Trisakti tewas dalam insiden yang dikenal “Tragedi Trisakti Berdarah”.

Dari peristiwa di Trisakti itu, wilayah Jakarta Barat lantas dilanda kerusuhan disertai penjarahan. Media Indonesia edisi 14 Mei 1998 mencatat, setidaknya 10 mobil dibakar massa, 45 bangunan dirusak, termasuk toko dan diskotek. Situasi kaos membuat lumpuh Jalan Daan Mogot hingga Jalan Panjang. Di jalan, ribuan massa berkumpul. Melakukan razia para pengendara.

Pada 12 Mei 1998 Jakarta bak medan perang.

Pada 13 Mei letusan senjata kembali meletus pada aksi berkabung di Universitas Trisakti. Penyulutnya, sekelompok massa membakar kendaraan tepat di depan kampus. Aksi itu lantas merembet ke beberapa wilayah di Jakarta.

Kompas mencatat, ratusan manusia terpanggang di Toserba Yogya di Klender, Jakarta Timur, dan ratusan orang terpanggang di Cileduk Plaza. Tercatat 499 orang tewas dan 4.000 bangunan hancur.

Dari Kairo, Soeharto memberikan pernyataan. Pukul 18.15 waktu setempat, ia berkata: “Kalau saya tidak lagi diberi kepercayaan, silahken. Saya sudah mengataken kalau tidak dipercaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahanken dengan kekuatan senjata.”

Di tengah pertemuan dengan warga Indonesia di KBRI Mesir, Soeharto kembali menegaskan jika memang ia tak lagi dipercaya oleh rakyat, ia ingin menjadi pandito. “Saya akan mendekatken diri kepada tuhan, membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik,” katanya.

“Saya juga tidak akan jadi penghalang, apalagi sampai mematikan kelangsungan hidup bangsa ini,” tuturnya, seraya mengatakan ia bisa menjadi penasihat untuk negara. “Tut Wuri Handayani.”

Namun, pernyataan itu kemudian dibantah Soeharto dua hari sesudahnya saat kembali ke Jakarta pada 15 Mei 1998. Melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Soeharto menyatakan ia sama sekali tak pernah menyatakan siap mundur dari jabatannya sebagai presiden. Baik Kompas, Republika, dan Media Indonesia menampilkan halaman serupa mengenai bantahan pengunduran diri Soeharto pada edisi 16 Mei 1998.

“Jadi kalau kita baca hati-hati ucapan ini, jadi jelas bagi beliau yang penting adalah kelangsungan hidup negara dan bangsa ini, yang tentunya sangat terkait dengan kelangsungan UUD,” kata Alwi, dengan gaya eufemisme yang lazim dipakai oleh para pejabat pemerintahan Soeharto. “Jadi jelas, beliau tidak mengatakan saya siap mundur seperti yang telah banyak diinterpretasikan oleh banyak pihak.”“Presiden Soeharto: Reformasi Politik Tahun 2003 Ke Atas”, tulis halaman utama Kompas edisi 2 Mei 1998.

Di tengah mencuat isu penculikan para aktivis tepat pada 32 tahun kekuasaannya, Soeharto melalui pembantunya, Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan, masih tetap menunjukkan kuasanya sebagai kepala negara.

Seperti dimuat di halaman utama Republika edisi 2 Mei 1998, Soeharto lewat Hartono mengeluarkan pernyataan bernada ancaman kepada mahasiswa yang menuntut segera dilakukan reformasi. “Jika Tidak Mau Mengerti, Dihadapi Dengan Tindakan,” tulis kepala berita koran itu.

Sementara itu desakan reformasi lewat aksi-aksi protes meluas di seluruh daerah. Aksi itu digelar tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional. Dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Palembang, Medan, hingga Kupang. Di Jakarta, aksi menuntut reformasi berujung bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan dua mahasiswa tertembak peluru karet.

Soeharto memanggil dua menterinya untuk meluruskan pernyataan. Seraya tetap menginginkan jabatannya tuntas hingga 2003, Soeharto meminta Hartono dan Alwi Dahlan meluruskan pernyataan. “Ini tolong disiarkan lengkap. Jangan sampai seolah-olah Bapak Presiden menutup reformasi. Tetapi untuk tahun 1998-2003, rakyat sudah mengadakan perangkatnya,” kata Hartono dalam Republika, 3 Mei 1998.

Perangkat dimaksud Hartono adalah Garis Besar Haluan Negara hasil Sidang Umum MPR 1998. “Jadi apa pun produk yang dilakukan atau dihasilkan pada periode 1998-2003, tidak digunakan pada periode ini,” kata Hartono. “Jadi masukan bagi legislatif tadi untuk kepentingan tahun 2003.”

Namun, gerakan meminta percepatan reformasi terus menguat. Demonstran meminta Soeharto lengser. Slogan mereka: Soeharto bersama para kroni bersenang-senang di atas penderitaan rakyat; Soeharto memimpin negara di atas pemerintahan yang korup.

Di tengah krisis keuangan yang menghajar Asia Tenggara dan merembet ke Indonesia, pemerintahan Soeharto memilih menaikkan harga bahan bakar minyak, 4 Mei 1998. Pengumuman itu memicu situasi kaos di sekitar Jakarta. Pom bensin diserbu pembeli hingga terjadi antrean mengular. Ibukota lumpuh seketika.

Keresahan itu, misalnya, tergambar pada kepala berita Kompas edisi 5 Mei 1998 berjudul “Diumumkan di Siang Bolong, Panik, Macet, Penumpang Terlantar”. Laporan itu menggambarkan warga berbondong-bondong mengantre BBM demi mendapatkan harga minyak lama, baik di Jakarta, Bogor, Tangerang, hingga Bekasi.

“Siang yang berawan kehitam-hitaman—seperti menjadi tanda hujan akan turun—terasa menjadi sangat panas,” tulis Kompas.

“Ini adalah sebuah perjuangan di masa sulit sekarang ini,” kata warga yang ikut antrean BBM pada judul berita halaman utama “Harga BBM dan Tarif Listrik Naik, DPR Menolak”.

Berita kenaikan BBM dan tarif listrik itu terus bergulir pada esoknya, 6 Mei 1998. Republika, misalnya, melaporkan kondisi penjarahan di Medan pada 5 Mei 1998. Laporan utama berlatar foto aksi demonstrasi mahasiswa di depan Kampus Universitas Nasional yang menolak kenaikan harga BMM, tarif listrik, dan angkutan kota.

Ribuan warga, seperti dilaporkan Republika, turun ke jalan, membakar, merusak, dan menjarah toko-toko tempat penyimpanan barang-barang kebutuhan pokok. Sehari sebelumnya, kerusuhan di Medan meletus. Warga merusak dan menjarah Pusat Perdagangan Aksara, di Jalan Letda Sudjono. Sepuluh kendaraan dan 25 bangunan terbakar.

Di hari yang sama, seperti dilaporkan Republika, para sopir angkutan umum di Jakarta bergabung dengan mahasiswa menggeruduk Gedung DPR menolak kenaikan BBM.

Di Yogyakarta, demonstrasi mahasiswa memanas: massa menyandera anggota DPRD dari Fraksi ABRI. Di Ujungpandang tak kalah bergejolak: aksi berujung bentrokan dengan aparat keamanan; terjadi pembakaran bus antar kota milik Damri; mahasiswa melucuti pakaian dua pegawai dinas Pemda setempat.

Aksi-aksi itu lantas membuat Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI, mengeluarkan pernyataan yang menganjurkan “mahasiswa dan warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis” karena memperburuk keadaan, selain “memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.”

“Saya melihat bagaimana perilaku masyarakat yang sementara ini lupa diri dengan melakukan kegiatan yang bersifat merusak, membakar toko, merampok toko, gudang, dan menjarah isinya. Ini mengingatkan kita bahwa sudah ada kegiatan yang tidak peduli kepada hukum,” ujar Wiranto di Kompas edisi 8 Mei 1998.

Wiranto menuding tindakan-tindakan yang ia nilai “anarkis” itu (istilah keliru yang terus dipakai hingga kini untuk menyebut tindakan ricuh) karena “mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan.”

“Jadi betul yang saya katakan, bahwa mahasiswa keluar kampus tentu akan dimanfaatkan pihak lain untuk mencari keuntungan yang berbeda dengan visi mahasiswa,” kata Wiranto, memakai teori pihak ketiga.

Wiranto kemudian memerintahkan seluruh jajaran ABRI—sekarang TNI—untuk “menghentikan aksi anarkis dengan melakukan tindakan tegas dan sesuai hukum.”

Tak hanya Wiranto. Soeharto melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan merespons keadaan kaos di pelbagai daerah bersulut penjarahan dan perusakan. Ia menyoroti aksi warga di Medan yang menyebabkan kekosongan bahan pangan dari pasar.

“Orang terburu-buru membeli berbagai macam bahan pangan, akibatnya harga-harga menjadi naik,” kata Alwi mengutip ucapan Soeharto usai Sidang Kabinet Terbatas, sebagaimana tertulis di Republika edisi 7 Mei 1998.
Gelombang Demonstrasi

Sehari setelah Wiranto memberikan keterangan pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jumat, 8 Mei 1998, aksi demonstrasi terus meluas di pelbagai daerah.

Harian Media Indonesia edisi 9 Mei melaporkan, demonstrasi mahasiswa makin keras. Di Padang, ribuan mahasiswa IAIN Imam Bonjol dan Universitas Andalas turun ke jalan. Mereka bergerak menuju kantor Walikota dan nyaris memicu kerusuhan. Sementara di Jakarta, ribuan mahasiswa menggelar demonstrasi dan mimbar bebas.

Mahasiswa di Pekanbaru melakukan aksi serupa. Aksi itu berujung bentrokan dengan aparat keamanan dan dua mahasiswa dikabarkan hilang. Sedangkan dari Bandung, rektor dan guru besar lima perguruan tinggi di Indonesia mendukung gerakan mahasiswa turun ke jalan untuk mendesak pemerintah segera melakukan reformasi. Mereka adalah Profesor Emil Salim (UI), Profesor Loekman Soetrisno (UGM), Puruhito (Unair), Oetomo D (IPB) dan beberapa guru besar lain.

Sementara di Surabaya, demonstrasi ratusan mahasiswa, pelajar, hingga perawat RSUD Dokter Soetomo menggeruduk Gedung Tingkat I DPRD Jawa Timur. Demonstrasi yang sama terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur, dengan aksi simbolik membawa mayat.

Di Solo, aksi yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Tercatat 400 orang yang ikut dalam demonstrasi di depan Kampus Universitas Negeri Solo mengalami luka-luka. Aparat menembakkan gas air mata dan memukuli mahasiswa. Bahkan setelah kejadian, Ulin Niam Yusron, koordinator SMPR, menemukan 26 proyektil peluru.

Suasana memanas menjalari Yogyakarta. Ia berujung peristiwa yang dikenal “Tragedi Gejayan”, 8 Mei 1998. Insiden itu menewaskan Moses Gatotkaca, alumnus Institut Sains & Teknologi Akprind. Moses ditemukan tergeletak dengan luka-luka pukulan dan meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. (Kelak namanya diabadikan pada sebuah jalan di dekat lokasi kejadian)

Sedangkan di Bogor, demonstrasi di depan Kampus Universitas Djuanda menyebabkan Kepala Satuan Intel Polres Bogor Letda Dadang tewas, diduga setelah dikeroyok puluhan mahasiswa yang tengah melakukan aksi.

Di hari yang sama, ketika aksi demonstrasi mahasiswa makin kencang, Soeharto akhirnya menghadap DPR.

“Kalau DPR betul-betul menilai kenaikan BBM itu memberatken rakyat, saya gembira, karena DPR memikirken rakyatnya. Saya gembira,” kata Soeharto seperti dikutip Republika, 10 Mei 1998.

Soeharto menjawab pertanyaan mengenai tuntutan demonstran di pelbagai daerah agar segera dilakukan reformasi. Seraya mengingatkan pentingnya kestabilan nasional di tengah krisis moneter, ia mengimbau agar “aksi tak sampai melakukan tindakan anarkis.” Sebab, katanya, aparat penegak hukum dan ABRI akan mengambil tindakan tegas.

“Kalau mereka tidak melanggar hukum, dengan sendirinya tidak ada tindakan,” kata Soeharto menjelang pamit di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menghadiri KTT G-15 ke 8 di Kairo, Mesir. “Saya bukan tidak mengetahui keadaan di dalam negeri. Saya mengetahui keprihatinan rakyat,” tambah Soeharto.

Ia mengomentari pemberitaan media massa di Tanah Air. Media massa, kata Soeharto, malah “ikut memperkeruh suasana” di tengah krisis ekonomi. “Bukannya mencoba menenangkan masyarakat,” katanya. “Sekarang saya minta tanggung jawab saudara-saudara untuk lebih menenangkan keadaan ini.”

Dan, sejak lawatan Soeharto—sang jenderal sepuh yang makin gagap mengendalikan keadaan itu—situasi di pelbagai daerah menyongsong pada apa yang akan dihadapinya sekembali ke Jakarta.
Api di Jakarta

Massa—dari mahasiswa, kaum ibu, orang-orang biasa—menuntut sidang istimewa MPR dipercepat. Mereka menuntut Soeharto turun dari tampuk kekuasaan karena dinilai tak mampu mengatasi krisis ekonomi.

Yel-yel "KKN"—akronim untuk korupsi, kolusi, dan nepotisme—semakin berdengung dan bersemangat: menggambarkan pemerintahan Orde Baru yang doyan ambil duit rakyat, memperbesar jaringan rente dan kroni, serta menguntungkan sanak saudara dan kerabat dekat. (Baca: Bagaimana Soeharto mencuri 35 miliar dolar AS, menjadikannya pemimpin paling tamak di dunia selama 20 tahun terakhir)

Di sisi lain, aksi Mei 1998 dihadapi penembakan oleh aparat keamanan. Senjata api menyalak. Asap membumbung di sekitar area Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Empat mahasiswa Trisakti tewas dalam insiden yang dikenal “Tragedi Trisakti Berdarah”.

Dari peristiwa di Trisakti itu, wilayah Jakarta Barat lantas dilanda kerusuhan disertai penjarahan. Media Indonesia edisi 14 Mei 1998 mencatat, setidaknya 10 mobil dibakar massa, 45 bangunan dirusak, termasuk toko dan diskotek. Situasi kaos membuat lumpuh Jalan Daan Mogot hingga Jalan Panjang. Di jalan, ribuan massa berkumpul. Melakukan razia para pengendara.

Pada 12 Mei 1998 Jakarta bak medan perang.

Pada 13 Mei letusan senjata kembali meletus pada aksi berkabung di Universitas Trisakti. Penyulutnya, sekelompok massa membakar kendaraan tepat di depan kampus. Aksi itu lantas merembet ke beberapa wilayah di Jakarta.

Kompas mencatat, ratusan manusia terpanggang di Toserba Yogya di Klender, Jakarta Timur, dan ratusan orang terpanggang di Cileduk Plaza. Tercatat 499 orang tewas dan 4.000 bangunan hancur.

Dari Kairo, Soeharto memberikan pernyataan. Pukul 18.15 waktu setempat, ia berkata: “Kalau saya tidak lagi diberi kepercayaan, silahken. Saya sudah mengataken kalau tidak dipercaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahanken dengan kekuatan senjata.”

Di tengah pertemuan dengan warga Indonesia di KBRI Mesir, Soeharto kembali menegaskan jika memang ia tak lagi dipercaya oleh rakyat, ia ingin menjadi pandito. “Saya akan mendekatken diri kepada tuhan, membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik,” katanya.

“Saya juga tidak akan jadi penghalang, apalagi sampai mematikan kelangsungan hidup bangsa ini,” tuturnya, seraya mengatakan ia bisa menjadi penasihat untuk negara. “Tut Wuri Handayani.”

Namun, pernyataan itu kemudian dibantah Soeharto dua hari sesudahnya saat kembali ke Jakarta pada 15 Mei 1998. Melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Soeharto menyatakan ia sama sekali tak pernah menyatakan siap mundur dari jabatannya sebagai presiden. Baik Kompas, Republika, dan Media Indonesia menampilkan halaman serupa mengenai bantahan pengunduran diri Soeharto pada edisi 16 Mei 1998.

“Jadi kalau kita baca hati-hati ucapan ini, jadi jelas bagi beliau yang penting adalah kelangsungan hidup negara dan bangsa ini, yang tentunya sangat terkait dengan kelangsungan UUD,” kata Alwi, dengan gaya eufemisme yang lazim dipakai oleh para pejabat pemerintahan Soeharto. “Jadi jelas, beliau tidak mengatakan saya siap mundur seperti yang telah banyak diinterpretasikan oleh banyak pihak.”“Presiden Soeharto: Reformasi Politik Tahun 2003 Ke Atas”, tulis halaman utama Kompas edisi 2 Mei 1998.

Di tengah mencuat isu penculikan para aktivis tepat pada 32 tahun kekuasaannya, Soeharto melalui pembantunya, Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dahlan, masih tetap menunjukkan kuasanya sebagai kepala negara.

Seperti dimuat di halaman utama Republika edisi 2 Mei 1998, Soeharto lewat Hartono mengeluarkan pernyataan bernada ancaman kepada mahasiswa yang menuntut segera dilakukan reformasi. “Jika Tidak Mau Mengerti, Dihadapi Dengan Tindakan,” tulis kepala berita koran itu.

Sementara itu desakan reformasi lewat aksi-aksi protes meluas di seluruh daerah. Aksi itu digelar tepat pada peringatan Hari Pendidikan Nasional. Dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, Palembang, Medan, hingga Kupang. Di Jakarta, aksi menuntut reformasi berujung bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan dua mahasiswa tertembak peluru karet.

Soeharto memanggil dua menterinya untuk meluruskan pernyataan. Seraya tetap menginginkan jabatannya tuntas hingga 2003, Soeharto meminta Hartono dan Alwi Dahlan meluruskan pernyataan. “Ini tolong disiarkan lengkap. Jangan sampai seolah-olah Bapak Presiden menutup reformasi. Tetapi untuk tahun 1998-2003, rakyat sudah mengadakan perangkatnya,” kata Hartono dalam Republika, 3 Mei 1998.

Perangkat dimaksud Hartono adalah Garis Besar Haluan Negara hasil Sidang Umum MPR 1998. “Jadi apa pun produk yang dilakukan atau dihasilkan pada periode 1998-2003, tidak digunakan pada periode ini,” kata Hartono. “Jadi masukan bagi legislatif tadi untuk kepentingan tahun 2003.”

Namun, gerakan meminta percepatan reformasi terus menguat. Demonstran meminta Soeharto lengser. Slogan mereka: Soeharto bersama para kroni bersenang-senang di atas penderitaan rakyat; Soeharto memimpin negara di atas pemerintahan yang korup.

Di tengah krisis keuangan yang menghajar Asia Tenggara dan merembet ke Indonesia, pemerintahan Soeharto memilih menaikkan harga bahan bakar minyak, 4 Mei 1998. Pengumuman itu memicu situasi kaos di sekitar Jakarta. Pom bensin diserbu pembeli hingga terjadi antrean mengular. Ibukota lumpuh seketika.

Keresahan itu, misalnya, tergambar pada kepala berita Kompas edisi 5 Mei 1998 berjudul “Diumumkan di Siang Bolong, Panik, Macet, Penumpang Terlantar”. Laporan itu menggambarkan warga berbondong-bondong mengantre BBM demi mendapatkan harga minyak lama, baik di Jakarta, Bogor, Tangerang, hingga Bekasi.

“Siang yang berawan kehitam-hitaman—seperti menjadi tanda hujan akan turun—terasa menjadi sangat panas,” tulis Kompas.

“Ini adalah sebuah perjuangan di masa sulit sekarang ini,” kata warga yang ikut antrean BBM pada judul berita halaman utama “Harga BBM dan Tarif Listrik Naik, DPR Menolak”.

Berita kenaikan BBM dan tarif listrik itu terus bergulir pada esoknya, 6 Mei 1998. Republika, misalnya, melaporkan kondisi penjarahan di Medan pada 5 Mei 1998. Laporan utama berlatar foto aksi demonstrasi mahasiswa di depan Kampus Universitas Nasional yang menolak kenaikan harga BMM, tarif listrik, dan angkutan kota.

Ribuan warga, seperti dilaporkan Republika, turun ke jalan, membakar, merusak, dan menjarah toko-toko tempat penyimpanan barang-barang kebutuhan pokok. Sehari sebelumnya, kerusuhan di Medan meletus. Warga merusak dan menjarah Pusat Perdagangan Aksara, di Jalan Letda Sudjono. Sepuluh kendaraan dan 25 bangunan terbakar.

Di hari yang sama, seperti dilaporkan Republika, para sopir angkutan umum di Jakarta bergabung dengan mahasiswa menggeruduk Gedung DPR menolak kenaikan BBM.

Di Yogyakarta, demonstrasi mahasiswa memanas: massa menyandera anggota DPRD dari Fraksi ABRI. Di Ujungpandang tak kalah bergejolak: aksi berujung bentrokan dengan aparat keamanan; terjadi pembakaran bus antar kota milik Damri; mahasiswa melucuti pakaian dua pegawai dinas Pemda setempat.

Aksi-aksi itu lantas membuat Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus Panglima ABRI, mengeluarkan pernyataan yang menganjurkan “mahasiswa dan warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis” karena memperburuk keadaan, selain “memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.”

“Saya melihat bagaimana perilaku masyarakat yang sementara ini lupa diri dengan melakukan kegiatan yang bersifat merusak, membakar toko, merampok toko, gudang, dan menjarah isinya. Ini mengingatkan kita bahwa sudah ada kegiatan yang tidak peduli kepada hukum,” ujar Wiranto di Kompas edisi 8 Mei 1998.

Wiranto menuding tindakan-tindakan yang ia nilai “anarkis” itu (istilah keliru yang terus dipakai hingga kini untuk menyebut tindakan ricuh) karena “mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di jalan.”

“Jadi betul yang saya katakan, bahwa mahasiswa keluar kampus tentu akan dimanfaatkan pihak lain untuk mencari keuntungan yang berbeda dengan visi mahasiswa,” kata Wiranto, memakai teori pihak ketiga.

Wiranto kemudian memerintahkan seluruh jajaran ABRI—sekarang TNI—untuk “menghentikan aksi anarkis dengan melakukan tindakan tegas dan sesuai hukum.”

Tak hanya Wiranto. Soeharto melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan merespons keadaan kaos di pelbagai daerah bersulut penjarahan dan perusakan. Ia menyoroti aksi warga di Medan yang menyebabkan kekosongan bahan pangan dari pasar.

“Orang terburu-buru membeli berbagai macam bahan pangan, akibatnya harga-harga menjadi naik,” kata Alwi mengutip ucapan Soeharto usai Sidang Kabinet Terbatas, sebagaimana tertulis di Republika edisi 7 Mei 1998.
Gelombang Demonstrasi

Sehari setelah Wiranto memberikan keterangan pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jumat, 8 Mei 1998, aksi demonstrasi terus meluas di pelbagai daerah.

Harian Media Indonesia edisi 9 Mei melaporkan, demonstrasi mahasiswa makin keras. Di Padang, ribuan mahasiswa IAIN Imam Bonjol dan Universitas Andalas turun ke jalan. Mereka bergerak menuju kantor Walikota dan nyaris memicu kerusuhan. Sementara di Jakarta, ribuan mahasiswa menggelar demonstrasi dan mimbar bebas.

Mahasiswa di Pekanbaru melakukan aksi serupa. Aksi itu berujung bentrokan dengan aparat keamanan dan dua mahasiswa dikabarkan hilang. Sedangkan dari Bandung, rektor dan guru besar lima perguruan tinggi di Indonesia mendukung gerakan mahasiswa turun ke jalan untuk mendesak pemerintah segera melakukan reformasi. Mereka adalah Profesor Emil Salim (UI), Profesor Loekman Soetrisno (UGM), Puruhito (Unair), Oetomo D (IPB) dan beberapa guru besar lain.

Sementara di Surabaya, demonstrasi ratusan mahasiswa, pelajar, hingga perawat RSUD Dokter Soetomo menggeruduk Gedung Tingkat I DPRD Jawa Timur. Demonstrasi yang sama terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur, dengan aksi simbolik membawa mayat.

Di Solo, aksi yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat berujung bentrokan dengan aparat keamanan. Tercatat 400 orang yang ikut dalam demonstrasi di depan Kampus Universitas Negeri Solo mengalami luka-luka. Aparat menembakkan gas air mata dan memukuli mahasiswa. Bahkan setelah kejadian, Ulin Niam Yusron, koordinator SMPR, menemukan 26 proyektil peluru.

Suasana memanas menjalari Yogyakarta. Ia berujung peristiwa yang dikenal “Tragedi Gejayan”, 8 Mei 1998. Insiden itu menewaskan Moses Gatotkaca, alumnus Institut Sains & Teknologi Akprind. Moses ditemukan tergeletak dengan luka-luka pukulan dan meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. (Kelak namanya diabadikan pada sebuah jalan di dekat lokasi kejadian)

Sedangkan di Bogor, demonstrasi di depan Kampus Universitas Djuanda menyebabkan Kepala Satuan Intel Polres Bogor Letda Dadang tewas, diduga setelah dikeroyok puluhan mahasiswa yang tengah melakukan aksi.

Di hari yang sama, ketika aksi demonstrasi mahasiswa makin kencang, Soeharto akhirnya menghadap DPR.

“Kalau DPR betul-betul menilai kenaikan BBM itu memberatken rakyat, saya gembira, karena DPR memikirken rakyatnya. Saya gembira,” kata Soeharto seperti dikutip Republika, 10 Mei 1998.

Soeharto menjawab pertanyaan mengenai tuntutan demonstran di pelbagai daerah agar segera dilakukan reformasi. Seraya mengingatkan pentingnya kestabilan nasional di tengah krisis moneter, ia mengimbau agar “aksi tak sampai melakukan tindakan anarkis.” Sebab, katanya, aparat penegak hukum dan ABRI akan mengambil tindakan tegas.

“Kalau mereka tidak melanggar hukum, dengan sendirinya tidak ada tindakan,” kata Soeharto menjelang pamit di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menghadiri KTT G-15 ke 8 di Kairo, Mesir. “Saya bukan tidak mengetahui keadaan di dalam negeri. Saya mengetahui keprihatinan rakyat,” tambah Soeharto.

Ia mengomentari pemberitaan media massa di Tanah Air. Media massa, kata Soeharto, malah “ikut memperkeruh suasana” di tengah krisis ekonomi. “Bukannya mencoba menenangkan masyarakat,” katanya. “Sekarang saya minta tanggung jawab saudara-saudara untuk lebih menenangkan keadaan ini.”

Dan, sejak lawatan Soeharto—sang jenderal sepuh yang makin gagap mengendalikan keadaan itu—situasi di pelbagai daerah menyongsong pada apa yang akan dihadapinya sekembali ke Jakarta.
Api di Jakarta

Massa—dari mahasiswa, kaum ibu, orang-orang biasa—menuntut sidang istimewa MPR dipercepat. Mereka menuntut Soeharto turun dari tampuk kekuasaan karena dinilai tak mampu mengatasi krisis ekonomi.

Yel-yel "KKN"—akronim untuk korupsi, kolusi, dan nepotisme—semakin berdengung dan bersemangat: menggambarkan pemerintahan Orde Baru yang doyan ambil duit rakyat, memperbesar jaringan rente dan kroni, serta menguntungkan sanak saudara dan kerabat dekat. (Baca: Bagaimana Soeharto mencuri 35 miliar dolar AS, menjadikannya pemimpin paling tamak di dunia selama 20 tahun terakhir)

Di sisi lain, aksi Mei 1998 dihadapi penembakan oleh aparat keamanan. Senjata api menyalak. Asap membumbung di sekitar area Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Empat mahasiswa Trisakti tewas dalam insiden yang dikenal “Tragedi Trisakti Berdarah”.

Dari peristiwa di Trisakti itu, wilayah Jakarta Barat lantas dilanda kerusuhan disertai penjarahan. Media Indonesia edisi 14 Mei 1998 mencatat, setidaknya 10 mobil dibakar massa, 45 bangunan dirusak, termasuk toko dan diskotek. Situasi kaos membuat lumpuh Jalan Daan Mogot hingga Jalan Panjang. Di jalan, ribuan massa berkumpul. Melakukan razia para pengendara.

Pada 12 Mei 1998 Jakarta bak medan perang.

Pada 13 Mei letusan senjata kembali meletus pada aksi berkabung di Universitas Trisakti. Penyulutnya, sekelompok massa membakar kendaraan tepat di depan kampus. Aksi itu lantas merembet ke beberapa wilayah di Jakarta.

Kompas mencatat, ratusan manusia terpanggang di Toserba Yogya di Klender, Jakarta Timur, dan ratusan orang terpanggang di Cileduk Plaza. Tercatat 499 orang tewas dan 4.000 bangunan hancur.

Dari Kairo, Soeharto memberikan pernyataan. Pukul 18.15 waktu setempat, ia berkata: “Kalau saya tidak lagi diberi kepercayaan, silahken. Saya sudah mengataken kalau tidak dipercaya, ya sudah. Saya tidak akan mempertahanken dengan kekuatan senjata.”

Di tengah pertemuan dengan warga Indonesia di KBRI Mesir, Soeharto kembali menegaskan jika memang ia tak lagi dipercaya oleh rakyat, ia ingin menjadi pandito. “Saya akan mendekatken diri kepada tuhan, membimbing anak-anak supaya menjadi orang yang baik,” katanya.

“Saya juga tidak akan jadi penghalang, apalagi sampai mematikan kelangsungan hidup bangsa ini,” tuturnya, seraya mengatakan ia bisa menjadi penasihat untuk negara. “Tut Wuri Handayani.”

Namun, pernyataan itu kemudian dibantah Soeharto dua hari sesudahnya saat kembali ke Jakarta pada 15 Mei 1998. Melalui Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Soeharto menyatakan ia sama sekali tak pernah menyatakan siap mundur dari jabatannya sebagai presiden. Baik Kompas, Republika, dan Media Indonesia menampilkan halaman serupa mengenai bantahan pengunduran diri Soeharto pada edisi 16 Mei 1998.

“Jadi kalau kita baca hati-hati ucapan ini, jadi jelas bagi beliau yang penting adalah kelangsungan hidup negara dan bangsa ini, yang tentunya sangat terkait dengan kelangsungan UUD,” kata Alwi, dengan gaya eufemisme yang lazim dipakai oleh para pejabat pemerintahan Soeharto. “Jadi jelas, beliau tidak mengatakan saya siap mundur seperti yang telah banyak diinterpretasikan oleh banyak pihak.”

Dan Soeharto “Berhenti”

Namun, tak ada sikap mundur dari tuntutan massa, yang menduduki Gedung DPR/MPR sejak 18 Mei 1998. Mereka menjanjikan bakal bertahan di sana sampai tuntutan Sidang Istimewa segera dijalankan buat memakzulkan Soeharto.

Di Istana, perkembangan semakin mengarah pada desakan demonstran. Selama 2,5 jam, Soeharto melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat dan agama. Keputusannya, Soeharto akan membentuk apa yang disebutnya “Kabinet Reformasi” termasuk mempercepat pemilihan umum. Terakhir, ia “tidak bersedia” dipilih kembali menjadi presiden.

“Saya sudah kapok jadi presiden,” katanya di halaman utama Media Indonesia berjudul “Kemenangan Reformasi” edisi 20 Mei 1998.

Tepat saat hari libur perayaan kenaikan Isa Almasih, pukul 09.06, Soeharto menyampaikan pidato yang menentukan. Isi pidato itu diketik dua jam sebelumnya:

“Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya membacakan pernyataan ini, pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998.”

Sesudah pidato Soeharto “berhenti” dari jabatannya, hanya jeda 3 menit, Bacharudin Jusuf Habibie dilantik menggantikannya.

Momen itu, yang disaksikan oleh ribuan massa di luar gedung DPR/MPR, disambut tepuk tangan dan teriakan serta yel-yel. Mereka bersorak-sorai. Mereka bersalam-salaman, berpelukan, berlarian ke tangga utama, menyanyi gembira.

Berbeda dari ekspresi kegembiraan para demonstran, kesedihan tampak di wajah Soeharto. Dalam Foto halaman utama Kompas, wajah lelaki 76 tahun itu muram. Ia mengapit kedua tangannya selagi mendengarkan Habibie membacakan sumpah menjadi presiden. Soeharto berdiri di bawah sebuah foto yang menggambarkan dirinya, saat itu menjabat Pangkostrad, sedang berbincang dengan Presiden Sukarno.

Foto itu menggambarkan gejolak tahun 1963-1965 ketika perseteruan di tubuh Angkatan Darat meruncing, dan memaksa sebuah tindakan penculikan para jenderal, yang ujungnya adalah pembunuhan massal terhadap golongan komunis dan aliansi-aliansi politik lain Presiden Sukarno. Itu lantas mengantarkan Soeharto sebagai presiden. Tiga dekade kemudian Soeharto baru lengser.
Tirto